Oleh: Mubasir Anwar
Santri…
Masihkah kau bangga dengan sarung dan pecimu
Yang filosofinya selalu mewarnai setiap langkah kakimu
Ataukah seperti yang lainnya
Menganggap sarung dan peci sebagai budaya kaum terbelakang
Lebih bangga dengan pakaian minim kebarat-baratan
Santri…
Masihkah sisa air minum gurumu
Kau perebutkan dengan temanmu
Sebagai wasilah mendapatkan barokah sang guru
Ataukah seperti yang lainnya
Barokah dianggap sebagai hal yang tabu
Logika dan keangkuhan kau jadikan guru
Santri…
Masihkah kau tundukkan wajah di depan gurumu
Masihkah kau cium tangan gurumu saat bertemu
Sebagai wujud ta’dzim pada sang guru
Ataukah seperti yang lainnya
Menganggap guru hanyalah orang biasa
Guru bukanlah orang yang istimewa
Tiada rasa hormat bahkan tega mencelanya
Santri…
Masihkah kau sungkan menempati tempat duduk gurumu
Masihkah kau merasa tak pantas berdiri di tempat pengimaman gurumu
Ataukah seperti yang lainnya
Tak ada rasa sungkan pada sang guru
Kau anggap sang guru tak ada bedanya dengan dirimu
Santri…
Masihkah Al-Qur’an selalu kau baca dan kau hayati
Masihkah bait-bait nadzom alfiyah dan imriti
Senantiasa kau lalar dan kau pahami
Ataukah seperti yang lainnya
Terbuai indahnya ayat-ayat status dan story
Bait-bait cinta dari ajnabiy
Kau anggap sebagai kalam-kalam penenang hati
Santri…
Masihkah rasa nasionalisme besemayam di hatimu
Masihkah kau anggap Indonesia sebagai rumahmu
Ataukah seperti yang lainnya
Seperti preman-preman demokrasi
Tiada rasa tulus dalam membangun negeri
Haus kekuasaan dan pengabdi kepentingan pribadi
Santri, bagaimana kabarmu?