HUJAN yang
mengguyur Gedangan mulai reda, matahari sore kembali tampak sinarnya, para
santri berduyun-duyun memadati aula utama Pondok Pesanteren Edi Mancoro.
Acara penutupan
asramanisasi— posonan, dikemas berbeda dari tahun sebelumnya. Pada
kesempatan kali ini mendatangkan Luqman Hakim, S.Ag yang menjabat sebagai anggota
DPR RI sekaligus alumni pesantren, Pdt. Izak Lattu, Ph.D selaku Dekan Fakultas
Teologi UKSW dan Ahmad Faidi, M.Hum selaku penulis buku.
Acara yang bertajuk Bedah Buku ‘Jejak Ma’rifat K.H. Mahfud Ridwan’ digelar di Aula Utama Pondok Pesantren Edi Mancoro bertepatan pada Rabu 21 Ramadhan 1444 H atau 12 April 2023 M. Sudah menjadi tradisi Pesantren Edi Mancoro, setelah tanggal 21 Ramadhan akan ada perpulangan santri, maka dari itu acara disambut dengan penuh antusias.
Momen yang
ditunggu tiba, acara bedah buku dimulai, para santri tak sabar mendengarkan
kisah-kisah heroik muassis pesantren semasa hidup yang belum pernah
mereka jumpai. “Saya belum pernah sama sekali berjumpa langsung dengan almaghfurlah
K.H Mahfud Ridwan,” seru Dimas Bayu selaku moderator ketika membuka acara.
Ahmad Faidi,
penulis buku Jejak Ma’rifat K.H. Mahfud Ridwan mengawali presentasinya dengan
menceritakan perjuangan Kiai Pengemong Masyarakat dengan penuh kenangan dan
mendalam.
“Interaksi saya
dengan Kiai Mahfud secara langsung sekitar 6 bulan, interaksi yang singkat
tersebut membuat saya tidak tau apa-apa soal Kiai Mahfud, akan tetapi saya
menemukan fakta di lapangan, banyak responden-respondon yang tidak bisa
diwawancarai oleh temen-teman santri saat itu, karena ketika ditanya tentang
sosok Kiai Mahfud mereka tidak bisa bercerita, yang ada hanya kucuran air
mata,” kenang Faidi dari pengalamannya menyusun buku.
Perjalanan menulis
buku biografi tersebut begitu berat bagi Faidi. “Saya pernah mau mengundurkan
diri, karena saya tidak tau apa-apa soal Kiai Mahfud,” ujar Faidi dengan penuh
tekanan. Hal tersebut dikarenakan Faidi tidak pernah berada dibawah asuhan Kiai
Mahfud.
Satu langkah penuh
keyakinan untuk melanjutkan buku tersebut diambil. “Alhamdulilah,
mungkin inilah maksud Gusti Allah, saya tidak dipertemukan langsung dengan Kiai
Mahfud agar saya nyantrinya belakangan saja,” ungkapnya dengan penuh keyakinan.
“Menulis biografi
tersebut menjadi wasilah saya mondok di Edi Mancoro, seakan-akan saya langsung
ngaji kitab dibawah arahan beliau, bukan hanya ngaji kitab seakan-akan saya
diberi kesempatan untuk ngaji kehidupan dibawah tuntunan beliau, pertemuan 6
bulan memberikan pengalaman batin yang luar biasa bagi saya,” sambungnya.
Faidi juga
memaparkan bahwa ajaran yang dibawa Kiai Mahfud adalah ajaran tentang cinta.
“Beliau membawa agama cinta, tidak pernah mempertimbangkan dampak logis dari
kebaikan, semua kalangan tak terkecuali mendapat pengayoman, tidak lagi ada
pertimbangan rasional dalam berjuang di jalan cinta,” pungkas penulis buku
biografi.
Ruangan mendadak
hening, kenangan tentang sosok Kiai Pengemong Masyarakat memenuhi ruang-ruang
imajiner para santri. Imajinasi mereka dibawa pada ruang dan waktu yang belum
pernah dijumpai, akan tetapi merasa begitu dekat. “Kang ada tisu
nggak?”, tanya seorang santri yang matanya mulai berkaca-kaca.
Izak Lattu seorang
akademisi, pendeta dan pegiat lintas iman, mendapat giliran untuk membedah buku
biografi. Berbeda dengan Faidi, Izak Lattu sudah lama berkenalan dengan Kiai
Mahfud. Awal mula perjumpaan keduanya ketika Izak Lattu menjadi wartawan di
Post Kita. “Saya banyak belajar dari Kiai Mahfud ketika saya menjadi wartawan,
karena saya sering wawancara beliau,” kenang Izak Lattu.
Izak Lattu banyak
memaparkan tentang aspek akademis dan lintas iman dari sosok Kiai Mahfud.
Sebagai seorang wartawan, momen paling tidak terlupakan ketika Izak
mewawancarai Kiai Mahfud saat kedatangan Gus Dur di Gedangan.
“Gus Dur kesini
(red: Ponpes Edi Mancoro) pada tahun 2000 saat menjabat sebagai presiden, saat
itu banyak orang yang bertanya, ada apa dengan Gedangan kok Gus Dur
sampai datang kesana, ketika saya mewawancarai Kiai Mahfud, ternyata Gus Dur
sahabat Kiai Mahfud ketika belajar di Baghdad,” ungkapnya dari pengalaman 23
tahun yang lalu.
Kiai Mahfud dan
Gus Dur merupakan sahabat seperjuangan dalam belajar di Baghdad. “Setelah Kiai
Mahfud belajar dari Mekah dan Gus Dur dari Al Azhar, mereka bertemu di Baghdad
untuk menimba ilmu. Saat itu, Baghdad menjadi pusat pertemuan filsafat,
membangun Al- Quran disatu sisi dan filsafat barat disisi yang lain, yang
membentuk sosialisme Islam,” jelas Izak Lattu dengan penuh semangat.
Tak ayal pemikiran
yang dibawa Kiai Mahfud tentang kebebasan yang kemudian beliau praktekkan dalam
wujud tindakan. “Sejak kuliah sampai dengan akhir hayatnya, pikiran beliau
melampaui ruang-ruang sosial dan tidak parokial— tidak pada satu komunitas
tertentu,” papar Izak.
Menurut Izak
Lattu, kebebasan beragama menjadi salah satu isu yang mendapat perhatian khusus
dari Kiai Mahfud. “Forum Gedangan menjadi contoh keseriusan Kiai Mahfud dalam
meletakkan pondasi penting penyeimbang relasi sosial lintas iman di Salatiga,”
terangnya kepada para santri.
Bahkan menurut
Izak Lattu, Forum Gedangan menjadi salah satu forum pelopor di Indonesia yang
mencoba membangun relasi lintas iman. “Sebelum adanya isu moderasi, relasi
lintas iman sudah dipraktekkan sejak dulu oleh Kiai Mahfud, beliau adalah orang
yang berintegritas tinggi, memberikan konsep tidak hanya dalam pikiran tetapi
juga dalam wujud tindakan,” pungkas Dekan Teologi UKSW disambut gemuruh tepuk
tangan para santri.
Hujan benar-benar
reda saat pembicara ketiga mulai membedah buku, para santri kembali menyimak
dengan serius, karena yang menjadi pembedah yang akhir ini adalah alumni
pesantren. Luqman Hakim menjadi politisi PKB yang sekarang duduk di kursi DPR
RI dulunya merupakan santri Kiai Mahfud.
Awal mula nyantri
di Gedaangan, Luqman terkejut dengan sikap Kiai Mahfud yang begitu tawadhu’.
“Pengalaman hari pertama nyantri, saya melihat Kiai Mahfud bersih-bersih kebun
salak di pagi hari sendirian dan tidak menyuruh santri, ketika saya bertanya
pada senior pesantren, hal tersebut biasa beliau lakukan,” kenangnya dari
pengalaman tersebut.
Pengalaman itulah
yang membuat Luqman mengangkat Kiai Mahfud sebagai guru spiritualnya sampai
sekarang. Kiai Pengemong Masyarakat tersebut punya integritas yang tinggi, aku
Luqman, sejalannya pikiran, ucapan dan perbuatan serta dilandasi dengan
keikhlasan.
“Pernah beliau
cerita kepada saya, didatangi seseorang mau dikasih mobil, nggak
diterima, waktu itu saya tanya, kenapa pak nggak diterima, jawabnya ‘alah
man mobil ki nggo opo, nek ndue malah gak penak, mikir pajek, mikir perawatan,
seng penting awake dewe yen butuh ono man’ itu jawaban beliau,” ungkap
Luqman.
Menurut pengakuan
Luqman, dalam kerja-kerja sosial, Kiai Mahfud pernah diperintah Gus Dur untuk
membuat forum kiai-kiai se-Indonesia. “Saya memberanikan diri bertanya pada
Kiai Mahfud soal pendanaan forum tersebut, jawabnya ‘tenang man masih ada sawah
nanti dijual untuk kegiatan’ itu jawaban beliau,” kisah Luqman kepada para
santri.
Kiai Mahfud
merupakan putra dari tuan tanah di Pulutan, warisannya banyak dalam bentuk
tanah, akan tetapi banyak berkurang karena untuk membiayai kegiatan sosial
kemasyarakatan. “Untuk kegiatan yang konteksnya maslahat untuk umat, lalu beliau
tunjuk sawahnya yang masih ada untuk pembiayaan kegiatan, menurut beliau hal
tersebut sebagai bentuk pengabdian pada Allah, pengabdian pada Islam,
pengabdian pada masyarakat, pengabdian pada NU,” jelas Luqman yang nyantri di
Gedangan sejak 1992.
Pendiri Pesantren
Edi Mancoro menjadi sahabat dekat Gus Dur di Baghdad saat itu, Luqman punya
kisahnya. “Saya pernah mendapat cerita dari Kiai Mahfud, dulu ibunya Gus Dur
kalo ngirim uang diserahkan pada Kiai Mahfud, Gus Dur kalo butuh uang tinggal
minta pada Kiai Mahfud,” terang Luqman.
Sambil menirukan
Kiai Mahfud Luqman melanjutkan “Gus Dur dulu mintanya ke Kiai Mahfud ‘kang
njaluk duwite arep tuku buku, kang njaluk duwite arep jajan, lho man, tapi mas
Dur gak penah takon duite ijeh pora’ itu menggambarkan kedekatan mereka
berdua,” sambungnya.
Anggota DPR RI
tersebut juga menceritakan perjalanan Kiai Mahfud dalam kancah politik, dimana
Kiai Mahfud pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Semarang dari tahun
1977-1982, akan tetapi beliau mengundurkan diri. “Beliau tidak melanjutkan
karena tidak adanya integritas dalam DPRD, ucapan dan perbuatan tidak sejalan,
dari situ Kiai Mahfud memilih untuk mengundurkan diri,” papar Luqman.
Selain menjadi
anggota DPRD Kabupaten Semarang, Kiai Mahfud juga berkontribusi untuk lahirnya
partai PKB. Kiai yang juga disebut Sang Pengemong tersebut ikut serta dalam perintisan
embrio PKB yang dimulai pasca orde baru tumbang.
“Kiai Mahfud
pernah ikut mempelopori cikal bakal perintisan PKB di Tegalrejo, beliau salah
satu yang ikut merintis PKB dari awal, walaupun selanjutnya beliau tidak duduk
dikepengurusan, karena beliau sadar ada kebutuhan lain yang lebih penting, Kiai
Mahfud mengajari bahwa politik juga penting walau tidak memimpin,” terang
Luqman.
Sebagai alumni yang pernah menimba ilmu langsung pada Kiai Mahfud, Luqman Hakim berpesan kepada para santri agar selalu mengingat sejarah perjuangan muassis pesantren. “Menggali sejarah kehidupan beliau menurut saya akan sangat bermanfaat. Apapun jalan hidup yang kalian pilih, pasti ada sisi Kiai Mahfud yang dapat dijadikan pedoman karena beliau merupakan tauladan paripurna,” pungkas Luqman Hakim, alumni Pesantren Edi Mancoro.
Gemuruh tepuk tangan begitu riuh memenuhi aula pesantren. Kegiatan bedah buku usai dengan penuh makna bagi para santri. Kisah-kisah dari Sang Pengemong akan dikenang sebagai refleksi kehidupan. Kegiatan ditutup, disambut rintik hujan yang kembali mengguyur Gedangan, mengguyur Pesantren Edi Mancoro. (Thoriq)